Selamatpagiindonesia's Weblog

Teruslah menjadi orang baik. Jika beruntung kau akan menemukan orang baik, atau jika tidak maka kau akan ditemukan oleh orang yang baik pula.


2 Komentar

Gadis Kecil Gesek Luka Ku

oleh : Liza Wahyuninto

Gadis kecil yang dulu gesek lukaku
Kini masih berlagak diri seolah sembilu
Balut lukaku yang semakin membiru
Pantangkan diri tuk mengharu

Bak mawar ia tengah merekah
Malu hendak ku sentuh kelopaknya
Atau sekedar mengerling merahnya
Karna ku tahu ia takkan tanggung marah sang duri

Gadis kecil yang dulu gesek lukaku
Kini mulai berceloteh tentang pesta menyambut pagi
Nyanyian periang di tengah sepi
Meskipun ia sering teriris sembilu

Bak gendang ia mendendang
Lagu bimbang di tengah gersang
Jengah hendak ku pangku ia
Tak pantangkan baginya terantuk galah

Gadis kecil yang dulu gesek lukaku
Kini berdiri tegak di hadapanku
Tubuhnya membiryu, bibirnya membisu
Rebahkan diri ke pelukanku
Sembari berbisik “maafkan daku”

Malang, 12-13 Juni 2008


Tinggalkan komentar

Aku Menulis Lagi

oleh ; Liza Wahyuninto

Aku menulis lagi

Melupakan Nil yang pernah ku sebrangi

Melupakan Himalaya yang pernah ku daki

Melupakan Amazon yang pernah ku susuri

Aku menulis lagi

Tentang cinta yang tak kunjung menyapa

Tentang hati yang tak jua terpaut

Tentang jiwa yang tak pula berhenti resah

Aku menulis lagi

Tentang pertemuan sebatas mata

Tentang percakapan sebatas senyum

Tentang lidah kelu tak berkata apa-apa

Aku menulis lagi

Dan tak kan berhenti menulis

Hingga ada kerling mata menjelma sapa

Hingga senyum menjelma tanya

Aku menulis lagi

Dan kan terus menulis

Walau Nil sudah mengering

Walau Himalaya merata tanah

Walau Amazon tak lagi bertumbuh ilalang

Aku menulis lagi

Hingga aku mati dalam sepi

Malang, 05 September 2008


Tinggalkan komentar

Serenade Menjelang Tidur

oleh : liza wahyuninto

Aku suka caramu menatapku

Tapi melulu aku memalingkan muka

Kau matahari, aku hanyalah cermin

Sinarmu buat silau setiap pemilik mata

Aku suka caramu bicara

Tapi melulu singkat ku bersuara

Kau seruling daud, sedang aku hanya gitar tak bersenar

Suaramu buat lautan luas terhampar

Cukuplah mata memandang

Dan senyum terkembang

Tak ku pinta puisi bernyanyi dari lidahmu

Pun tak ku tunggu ada mata bercahaya dari kelopakmu

Ini hanyalah dongeng purnama

Anak rembulan rindukan bundanya

Sudah malam,

Bila mata telah mengantuk

Jangan paksa ia terus terjaga

Izinkan sejenak ia terpejam

Tuk ciptakan pijar di paginya

Tak Ada Mawar Tak Berduri

Malang, 13 September 2008

14:20


Tinggalkan komentar

Ich Bin Verliebt

oleh : liza wahyuninto

Ku tak pernah memanggil namamu

Tak jua lambaikan tangan usai bertemu

Karena mataku tlah menyebut namamu

Dan seutas senyum tlah ungkapkan

esok kan ada pertemuan agung menghampiri

Tak ada hujan yang tak reda

Tak pula ada purnama yang sempurna

Pikiran hanya dapat sebatas nalar

Namun, hati lah yang menebak rasa

Kata terutara selalu dusta

Puisi di hati itulah kebenaran hakiki

Ich bin verliebt, ich bin verliebt

Bunda,

Salahkah jika aku yang memilih?

Tak layakkah bila aku yang memilah?

Dosakah jika aku yang putuskan?

Sepucuk perihal saja…

Cinta

Ich bin verliebt, bunda

Malang, 10 September 2008

23:11


Tinggalkan komentar

Sembahyang Cinta

oleh : liza wahyuninto

Bismillahirrahmanirrahim cinta,

Ku niatkan dalam hati dan ku lafalkan dengan lirih lewat lidahku mencintai-Mu

Ku takbirkan dengan lafadz akbar cinta pembuka pintu menjemput-Mu

Dan fatihah cinta ku senandungkan,

beriring surat-surat cinta sebagai buah tangan kedatanganku

izinkan sejenak ku ruku’ membungkuk di hadapan-Mu,

bacakan tasbih mesra memuji keagungan cinta-Mu

dan biarkan ku terlelap dalam sujud panjang,

berurai air mata cinta

dalam duduk antara tahiyat dan tasyahud sujud cinta ku sabdakan sumpah setia

akan pujian cintaku, shalawat cintaku, dan doa cintaku menjelma dalam wujud-Mu

assalamu’alaikum warahmatullahi wabaraktuh cinta,

ku tutup sembahyangku

Malang, 9 September 2008


Tinggalkan komentar

Ketika Mawar Dekati Mentari

oleh : liza wahyuninto

Kita tentunya tak harapkan gelegar halilintar hiasi malam ini, tapi bukan berarti kita pencinta sepi tak berujung. Yakinlah setelah air mata kan kau lihat senyuman.

*

Kebahagiaan yang berujung sepi, poros berikan putaran pada roda hingga tertegunlah yang menjadi akhir dari sebuah arti.

**

Jika telah tiba masa itu. Aku tak ingin genderang ditabuh, karena kelak hanya kan undang sekawanan serigala menuju pesta. Hanya inginkan harum mawar penuhi lorong-lorong jiwaku.

*

Mawar mana yang kan hiasi relung jiwamu? Adakah secercah cahaya tuk buat mahkotanya bersinar? Adakah semangkuk telaga yang sanggup buatnya segar? Tolong jangan buatnya menderita..!

**

Akulah sinarnya, dan takkan pernah ia merasa dalam kegelapan, dan mahkotanya kan bersinar bahkan lebih dari sang surya. Akulah telaganya, dan takkan dia me-layu. Takkan kubiarkan dia menderita. Entah harus kubalas dengan apa wangi yang selama ini kunikmati. Seorang Ratu tidak terlahir tapi dibentuk. Kau berhak kenakan mahkotanya, bukan aku! Aku hanyalah karpet merah sang penyambut tamu agung.

*

Tidak! Kau tidak seburuk itu. Kaulah raja yang coba tebar kebahagiaan. Kau datang dengan sinar emas di dadamu, kau pemberi kesegaran lewat untaian kata dari bibirmu. Kau begitu berharga…

**

Sebegitu mulianya anak seorang pengayuh perahu? Kubelum mendengar seorang pemburu menjadi seorang raja. Jika tidak memburu maka dia diburu, itulah ceritanya. Dan aku bukanlah seorang pemburu yang lincah, terkadang aku terluka karena tombakku sendiri.

*

Andai kutahu selimut malam begitu tebal, mungkin kutakkan bermandi kesah. Kutak hanya lemah tapi tak berdaya. Sedingin es membeku aku biru. Malam ini rembulan tak hadir. Sungguh bintang takkan dapat tuk menggantikannya.

**

Kala petang membawa tombak, rembulanpun membunuh malam dengan pesonanya. Takkan jadi mimpi karena kalbu yang berhias mawar. Tapi awas! Jangan terkecoh pesonanya yang memukau, karena mahkota tak tanggung marah sang duri.

**

Aku harap itu bukan mimpi, karena mimpi-mimpiku telah lama tercuri. Kadang kuinginkan rembulan tak hadir tapi menyala. Tak hanya jadi pelengkap tapi tempat berharap. Kapan kan kusaksikan lagi rembulan bersayap?

*

Biru tubuh membuat lebur hatiku. Tak bisa kuberpijak kala kau paksakan dirimu tuk jaga pesonaku, balut luka yang menganga. Saggupkah kau bahagia?

**

Kubahagia bila merahmu menyala. Kubahagia ketika kelopakmu terbuka. Kubahagia saat kau sempurna.

*

Sekawanan burung terbang ke timur. Rembulanpun masih sabit senyumnya. Kuharap dia bawa kabar tentang esok. Kulihat lautan menyala, merpati terpukau, putih warnanya menjadi biru. Aku anak rembulan!

*

Ku tak sadar ketika menari dalam gelap. Kutak sadar posisi ketika utara kujadikan kiblat. Esok, beritakan pada nirwana yang tak bertiang, bahwa di bumi ada anak malang yang tak tahu jalan menuju pulang. Akulah kerbau yang terbuang dari kubangan.

*

Jangan takut dengan kepergian cahaya, mata ini akan menyala sepanjang malam. Kadang kuberfikir sebagai lilin, kuterus menyala maknai kelam dengan cahaya.

*

Ada yang tidak kita ketahui tentang malam, di balik kesunyian ada keramaian yang tak terkira. Ada yang tidak kita ketahui tentang siang, dia tak lebih hanya ketiban benderang. Apalah arti cahaya jika tak dapat menerobos pekat? Apalah arti gulita jika setelahnya masih ada air mata?

*

Awali pagi, mentari menari. Awali hidup tanpa kabut. Tergagap dari mimpi tuk raih esensi. Tak hanya sekedar nilai dan materi, dengan fakta bicaralah apa adanya!

*

Gelap malam serasa mati, tak rasakan sedihnya. Hati yang terbuai membiru sakti, meledak menjilat rasa. Sedang angkasaku bergoyang, bertanya pedih. Dosa keberapakah yang kubuat? Penjaga diri terbahak melihat diri yang lemah ini.

**

Kutawarkan diri sebagai pelita jika gelap kian pekat. Sadarkan diri akan posisi, gejolak tak mesti berombak. Jangan mati rasa, membeku biru hanya kan jemput haru. Tak kuingin ada yang membasahi pipimu.

*

Kutakut bila tetesannya menggenangi hatimu hingga gelisah hanyutkan mimpi. Tolong biarkan gejolak ombang-ambingkan kalbu. Biarkan dia peluk daku, tapi jangan yang kau jadikan lilin sebagai penawarku.

**

Tidak..! sungguh tak kutawarkan lilin sebagai penawar, lilin hanya kan nyalakan sijago merah. Kutawarkan tempat berlindung, tumpahkanlah semuanya di sana. Kusiap menadahnya. Tapi tolong, jika pipimu telah kering, lanjutkan kembali langkahmu!

*

Takkan ada air mata yang kan membasahi pipiku, biarlah mengalir deras dalam hati karena untuk itu kutak pernah ada kekuatan. Yang kubisa hanya mengharu.

**

Pelangi takkan hadir di malam hari, tapi kucoba panggilkan bila itu adalah penawarmu. Kau mawar kecil yang mulai berani curi waktu tuk melihat indahnya mentari. Jejaring mimpi jangan kau tolak jika mata telah mulai lelah.

*

Kehangatan mentari beri warna lain dalam dunia temaramku. Coba kucuri waktu tapi duniaku merenggutnya sedang sang pelangi kecohkan sepiku. Berkawanku dengan arakan awan, tapi mereka permainkanku sedang merpati anggapku lucu…

**

Berbahasa kalbu kubernyanyi, tersesat di alammu aku mau. Kadang kuberfikir tuk jadi mawar, kalahkan anggun melati rayu pagi ikut menari. Merpatimu putih, dia jinak dan bersahabat. Kau hanya belum coba sentuh dia.

*

Jangan..! Kutak ingin kau kecap pahitku. Tetapkanlah hangatkan senyumku. Biarkan kuberceloteh untukmu tapi jangan kau dengar rintihku. Begitu banyak sepiku kau rayu, ku hanya tak mau kau tersapu

**

Biarkan aku yang tersapu, asal jangan kau membisu. Ini perihal biduk karam di tengah, ku mohon jangan tenggelam. Ku kan menjelma ikan-nya Yunus dan membawamu ke tepian. Bangunlah, kau sedang bermpi!

*

Malang, 7 September 2008

15:35


Tinggalkan komentar

Singgahlah ke Rumahku, Ku Ajak Kau ke Kotaku

oleh : liza wahyuninto

Singgahlah sebentar ke rumahku, kawan

Di depannya ada pagar besi, doronglah

Masuklah melalui sehasta laman dan berandanya

Tak usah mengetuk, pintunya selalu terbuka

Maaf kalau ramai terdengar, kami keluarga besar

Ku miliki empat saudara, seorang lelaki dan tiga putri

Duduklah sebentar, biar ku tuang the pengusir lelah

Maaf bila tiada juadah1 di atas meja

Kami orang tak berpunya

Ceritakan perjalananmu kemari, kawan

Letihkah dikau, tersasarkag nenuju gang kecil ini?

Ku kandengarkan celotehmu

Dan sesekali kita tertawa kecil

Bila puas bercerita, mari sebentar tengok taman rumahku

Tak besar memang

Namun isinya yang berarti

Ada mawar, kembang sepatu, pohon inai dan bila beruntung kau dapati buah Seletup2 yang ranum

Jangan tanyakan Tulip atau Eudelwis, ia tak tumbuh di sini

Bila suka kelapa muda, panjatlah

Di sini tak pernah dipanjat

Kami hanya menunggu buahnya jatuh ke tanah

Boleh juga memetik belimbing bila ada yang menguning

Belimbing kami tak pernah menguning di sini

Ia slalu jadi rebutan anak-anak kecil setiap pagi, mungkin manis pikirnya

Bila benar-benar lelah, istirahatlah sejenak di ranjangku

Kamarnya sempit, berbagi dengan perpustakaan miniku

Bila butuh sesuatu, panggil saja aku

Teriak juga tak mengapa

Di sisni semuanya bersuara lantang, maaf bila tak terdengar

Istirahatlah sejenak

Kan kubangukan kau menjelang senja

Kotaku indah di senjanya

Manna3 Kota Kenangan sebutannya

Kita berbelanja di Kutau4, berkisah di Tebat Rukis5, menghabiskan matahari di Pasar Bawah6 dan makan malam di Tanah Lapang7 semabari mampir di Lapangan Sekundang8 menyaksikan pesta kembang api

Jangan pulang malam-malam

Rumahku dikunci bila di atas jam 21:00

Di sini tidak kenal istilah begadang

Semuanya mendengkur di gulitanya

Udaranya agak panas, kawan

Mengundang nyamuk nakal bila tak pakai selimut

Berselimutlah dengan kain kumal di lemari

Semoga bisa mengusir dingin di kala udara malam bersimpuh

Bangunlah sebelum subuh

Ada yang ingin ku tunjukkan padamu

Bintang timur yang kalian sebut Merkurius

Ia lebih benderang dari sini

Dan bila beruntung sambutlah gerhana rembulan di subuhnya

Wudhulah sebentar,

Ada masjid besar di kota ini, Jami’ namanya

Kan ku ajak kau sujud di dalamnya

Lirihkan dzikir panjang dan doa penyambut pagi

Itulah rumahku, itulah kotaku

Rumah sederhana dan kota kecil yang tenteram

Sepi di malam hari namun indah di kala senja

Jangan lupa sekundang setungguan9 bila berayak10 kemari

Tak ada mawar tak berduri

Malang, 21-29 Juli 2008

13-39

1 Penganan semacam kue dan gorengan

2 Seletup terdiri dari dua: pertama, menjalar bila masak buahnya berwarna orange atau sedikit pink dengan penutup seperti jaring, rasanya manis. Kedua, seperti pohon bunga dan bercabang bila masak buahnya berwarna kuning dan rasanya manis.

3 Salah satu kota di provinsi Bengkulu yang juga menjadi nama kabupaten

4 Nama daerah yang nama panjangnya Kota Medan trerkenal sebagai daerah paling tua

5 tebat/waduk yang terletak di daerah Rukis, biasanya sebagai tempat pemancingan dan muda-mudi berpasangan

6 Pantai yang selain terkenal dengan tempat rekrasinya juga dikenal dengan tangkapan ikan yang dihasilkan oleh nelayannya

7 Tempat berbelanja dan makan malam di Kota Manna

8 Lapangan sepak bola yang terletak di depan rumah dinas bupati, biasnya digunakan sebagai tempat balapan bila malam hari dan bermain bagi warga sekitar

9 Disebut juga perangguan yaitu motto yang bermakna seiring sejalan

10 Jalan-jalan, main, berkunjung


Tinggalkan komentar

Biarkan Putri Beri Makna

oleh : liza wahyuninto

Perjumpaanmu dengan rembulan, bukan kali yang pertama. Tapi cara menatapmulah yang buat ia lebih bermakna. Rembulan, seperti benda langit lainnya, ia hanya seonggok cahaya. Dan rembulan, sungguh tak lebih baik dari bebintang, ia hanya ketiban cahaya dan coba pantulkan ke sisi gelap dunia.

Tapi, di balik kesahajaan itulah ada hikmah. Banyak manusia mampu bercahaya, punya sinar di matanya, tapi hanya berapa yang bersedia jadi pelita bagi sesamanya? Bukankah itulah makna bermanfaat bagi manusia (yanfa’u linnas).

Perjumpaanmu dengan rembulan, memang sebentar. Tapi cukup membekas. Banyak orang terlena dan asyik menatapnya. Ya sebanyak itu pula yang mengumpat hadirnya. Demikian manusia, ada yang suka kehadiranmu sebanyak yang tak kehendaki ada-mu.

Manusia terbius oleh kemilau cahaya, tak peduli pada gulita di sebelahnya. Coba ingatlah! Berapa banyak sahabat yang berada di sampingmu kala kau bahagia dan berpunya? Bandingkan, berapa yang hadir menghiburmu kala duka menyelimuti?

Ingatlah sesiapa yang menyeka air matamu? Sesiapa yang bersedia menyediakan dada untuk kau memeluk dan menumpahkan air mata di sana? Kadang ia memang tak ada kala kau bahagia. Tapi ia selalu di dekatmu saat kau bersedih lara. Ia tidak melepasmu, pun juga tak meninggalkanmu, apalagi melemparmu. Ia hanya ingin kau bebas, tak ada temali di pergelanganmu pun tak ada sangkar yang mengurungmu.

Perjumpaanmu dengan purnama yang kusebut bunda, ingatkanku pada mawar merah yang sempat kujaga hingga mekar kelopaknya, memerah mahkotanya. Ia begitu indah dan tak ada penggantinya. Tapi, ia terlepas durinya dan tercuri madunya. Ia telah kembali pada alam. Dialah yang buat namaku anak rembulan, putra pelangi dan penjaga kejora. Ia telah pergi dan takkan kembali. Ia telah hilang dan takkan hendak datang.

Kisahmu, kamulah yang ukir. Duniamu adalah kanvas besar nan luas. Kau bebas menggambar dan melukisinya. Cobalah beri sedikit warna, indah nian bukan? Duniamu juga panggung besar nan elok, ada ribuan kamera tengah mengawasimu, jangan takut, jangan malu! Bergayalah, perankanlah dirimu, seutuhnya!

Aku bukan sesiapa, hanya karpet merah sang penyambut ratu agung. Hanya menghidupkan bara dalam sekam yang basah, tapi kau lah yang berpunya puntungnya. Silahkan menyala sendiri, aku hanya sekedar meniupnya. Izinkanku membawamu, meskipun itu tak terlalu tinggi.

Tak ada mawar tak berduri

Malang, 20 Juli 2008

10:14


Tinggalkan komentar

Narasi Rindu

oleh : liza wahyuninto

Tertunduk membungkuk kau memandangku

Beranikan diri kerlingkan indah dua bola

Tempat mengalir samudera

Aku terangguk dengar lima tanya berlalu

Walau tak berharap ada jawab terutara

Usah menunduk, sayang

Aku bukan dewa kaupun manusia

Tegaklah laksana alif

Biarkan ku menjadi hamzah di mahkotamu

Berlalu diri dalam tegap

Tanpa ada dawai mengalun

Pertemuan selalu sekejap

Selebihnya drama narasi rindu tak berkesudahan

May Ziadah tiada pernah bersua Gibran

Ia takut kelak kan jadi beban

Pertemuan terbaik adalah pertemuan mata

Karena di dalamnya tak ada dusta

Tahukah kau apa yang terjadi

Bila Rumi temukan Tabriz

Saat itu matahari mati dan rembulan padam

Tapi sudahlah,

Itu dongeng purba bagi pecinta

Laila sihir Qais jadi gila (majnun)

Rama pertaruhkan nyawa demi Shinta

Cleopatra bungkukkan lutut raja

Dan takluklah Nil ke tangannya

Kecantikan abadi ada di hati

Karnyalah mereka rela berkorban

Tanyakan pada hatimu

Sudahkah ada yang berkorban untukmu?

Tak mawar tak berduri

Malang, 18-19 Juli 2008

07:49